Paradoks Tepi Kota dari Kacamata Archevent FT UNS

UNS – Paradoks Tepi Kota menjadi tajuk sebuah gelar wicara milik Archevent 2019 yang digelar di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Surakarta, Sabtu (7/12/2019). Agenda tahunan Program Studi (Prodi) Arsitektur Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta tersebut mencoba menarik isu relokasi dan penggusuran pemukiman kumuh yang melahirkan pertentangan di berbagai sisi.

Ilham Rizqi Hasibuan, Koodinator Gelar Wicara Archevent 2019, mengatakan bahwa banyaknya kasus penggusuran dan relokasi di Surakarta beberapa tahun terakhir menjadi keresahan tersendiri bagi para panitia.

Relokasi dan penggusuran seringkali menjadi langkah yang diambil untuk merampungkan masalah yang timbul akibat lahirnya pemukiman kumuh di atas lahan tanpa hak guna yang sah. Masalah ini pun bias dan memunculkan paradoks. Sebab hal yang dicanangkan sebagai solusi oleh pemerintah, tidak jarang memunculkan masalah baru dan bahkan berulang kali pemukiman kumuh itu terbentuk kembali seolah tidak ada solusi yang benar-benar tepat.

“Dari penggusuran itu timbul masalah psikologi dan sosial yang tidak mudah juga. Meskipun pemerintah juga berupaya menyelesaikan lewat komunitas, tetapi masalah itu ada terus menerus. Kami berpikir apakah penggusuran ini satu-satunya jalan?” tutur Ilham.

Kamil Muhammad, pendiri Pppoooll dan ASF-Indonesia, mengatakan bahwa penggusuran bukan satu-satunya solusi untuk mengatasi pemukiman atau kampung kumuh. Dalam materinya yang berjudul Tepi: Pelajaran dari Kota, Kamil bercerita ihwal penggusuran di Jakarta yang tidak pernah benar-benar selesai. ‘Kesementaraan’ tempat tinggal di Indonesia memang topik yang besar dan sulit untuk dipaksakan berhenti.

“Manusia itu kan pada dasarnya butuh dan mempunyai hak tinggal. Jadi kalau digusur, mereka juga akan mencari tempat tinggal lagi. Kalaupun direlokasi ke tempat yang disediakan pemerintah, terkadang ada ketidaknyamanan. Akhirnya pemukiman itu muncul lagi berulang-ulang,” tutur Kamil.

Sementara itu, Yu Sing, arsitek dari Studio Akanoma, menuturkan bahwa diperlukan kehati-hatian dalam menerapkan partisipasi kritis ini. Meskipun warga mengusulkan banyak hal, tetap harus dipertimbangkan dari segi keilmuan para profesionalnya. Sehingga tidak hanya menciptakan lingkungan yang menunjang aktivitas saja, tetapi juga sesuatu yang membuat warga berkembang.

“Sayangnya forum partisipasi semacam ini belum ada secara legal atau kelembagaan dari pemerintah. Saran saya perlu ada tim planologi kota atau community action planning dari berbagai bidang ilmu di tiap-tiap kota, termasuk warga di dalamnya. Sehingga ada sistem yang menjadi standar pasti perencanaan wilayah kota,” tutur arsitek yang membuat rumah murah bagi warga ini.

Dari sisi pemerintah, Staf Ahli Menteri PUPR bidang Sosial dan Peran Masyarakat, Ir. Sudirman, M.M., menyatakan bahwa relokasi dan penggusuran tentu memiliki dampak negatif dan positif yang sudah diperhitungkan. Salah satu hal yang menjadi pertimbangan utama adalah dampak ekonominya.

“Kita tidak bisa menyenangkan semua pihak, tapi kita perhitungkan mana yang akan meningkatkan ekonomi warga. PUPR sudah membangun dan merevitalisasi banyak tempat, tapi pemerintah daerah juga harus mau merawatnya. Kalau tidak ya jadi rusak dan tidak berfungsi lagi,” tutur Ir. Sudirman.

Archevent merupakan agenda tahunan mahasiswa Arsitektur yang diharapkan dapat menjadi ajang interaksi mahasiswa bersama banyak pihak dengan mengangkat isu-isu kekinian Arsitektur dan Urban-Rural Design. Antusiasme di tahun 2019 ini pun sangat baik, tercatat 170 orang menghadiri gelar wicara baik dari kalangan mahasiswa Arsitektur, mahasiswa Perencanaan Wilayah Kota (PWK), mahasiswa Desain Interior, bahkan dosen berbagai univeritas di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Humas UNS/ Kaffa

Sumber : https://uns.ac.id/id/uns-update/paradoks-tepi-kota-dari-kacamata-archevent-ft-uns.html

Leave a Reply